PUBLIKAINDONESIA, JAKARTA – Jagad maya kini dipenuhi riuh netizen dengan tagar #KaburAjaDulu, ajakan untuk hijrah dari Indonesia ke negeri lain yang dianggap sebagai manifestasi frustrasi mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi.

Menurut pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, tagar ini pertama kali muncul diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025, meskipun pada awalnya engagement-nya masih sangat kecil.
Ismail Fahmi mengungkapkan bahwa tagar #KaburAjaDulu merupakan reaksi netizen terhadap keadaan di Indonesia, yang mencakup ketidakpuasan ekonomi, menurunnya kualitas hidup, ketidakadilan sosial, serta kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memadai.
“Netizen merasa perlu mencari informasi mengenai lowongan kerja, tips persiapan berangkat, risiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan antara tinggal di Indonesia dengan luar negeri,” jelasnya.
Dari segi demografi, data menunjukkan bahwa mayoritas netizen yang menggunakan tagar tersebut berusia antara 19-29 tahun (50,81%) dan 38,10% berusia di bawah 18 tahun, dengan proporsi gender didominasi oleh pria sebesar 59,92% dan wanita 40,08%.
Tagar #KaburAjaDulu memiliki dua sisi dampak. Di sisi positif, banyak netizen yang melihatnya sebagai cermin harapan untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik, menambah pengalaman hidup, dan mengembangkan keterampilan baru.
“Tagar ini juga menunjukkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri,” ungkap Ismail.
Namun, ada pula dampak negatifnya. Munculnya tagar ini memunculkan persepsi negatif terhadap pemerintah dan kondisi di dalam negeri, serta menimbulkan kekhawatiran tentang kesulitan beradaptasi dengan budaya baru dan stigma sosial bagi mereka yang memilih berimigrasi.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, menilai bahwa di era digital, media sosial berperan sebagai sarana edukasi sekaligus alat tekanan publik dalam aspek sosial, psikologis, politik, dan ekonomi.
“Tagar #KaburAjaDulu merupakan ekspresi sebagian kelompok melalui media sosial yang dianggap sebagai saluran komunikasi yang terbuka dan aman,” ujar Ida.
Ia juga menekankan bahwa narasi di balik tagar tersebut belum tentu sepenuhnya dibentuk oleh Gen-Z.
“Di dunia digital, berbagai kelompok kepentingan bisa memanfaatkan media sosial untuk ‘mendulang di air keruh’. Oleh karena itu, netizen perlu bersikap kritis atas wacana yang muncul,” pungkasnya.
Menurut Ida, kemunculan tagar ini tidak serta-merta mencerminkan kondisi Indonesia secara menyeluruh.
Perpindahan masyarakat sebagai dampak globalisasi merupakan fenomena yang wajar, termasuk adanya WNI yang memilih untuk menetap di luar negeri.
“Pertanyaannya adalah, apakah keputusan tersebut merupakan wujud resistensi atau perlawanan terhadap pemerintah?” tambahnya.
Ia juga menyoroti karakter Gen-Z yang meskipun sering disebut sebagai generasi yang menarik, sebenarnya memiliki kerentanan tersendiri.
Data BPS menunjukkan sekitar 20-an persen dari kelompok ini berstatus NEET (Not in Employment, Education, and Training).
“Jika Gen-Z yang terlibat dalam #KaburAjaDulu, sebenarnya mereka adalah generasi tangguh yang siap menghadapi risiko migrasi, karena migrasi membutuhkan daya tahan hidup mandiri, modal finansial, dan modal sosial,” jelasnya.
Ida menilai bahwa meski tagar #KaburAjaDulu telah menggema di dunia maya, belum dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial.
Ia mencontohkan gerakan #MeToo yang mulai viral pada 2017 sebagai contoh media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk gerakan sosial, namun pertanyaan mendasar tetap ada: “Apa tujuan jangka panjangnya dan perubahan sosial apa yang diharapkan?”
Menurutnya, negara dan masyarakat seharusnya mengambil pembelajaran dari normalisasi kondisi yang merugikan hak-hak warga, sehingga dapat mengubah situasi secara konstruktif.
“Penting bagi kita untuk terus kritis dan menyikapi narasi di dunia maya dengan bijak,” pungkas Ida.
Dengan demikian, tagar #KaburAjaDulu menjadi cermin kompleksitas perasaan netizen terhadap kondisi Indonesia saat ini, yang perlu diteliti lebih mendalam dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik guna menemukan solusi yang konstruktif.