PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Rencana pemerintah menulis ulang sejarah Indonesia dalam bentuk 10 jilid buku tebal memicu perdebatan sengit di kalangan sejarawan.

Proyek ambisius ini dituding terlalu elitis dan Indonesia-sentris, dengan narasi yang masih jauh dari realitas masyarakat akar rumput, terutama wilayah-wilayah pinggiran seperti Papua.
Sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Mohammad Refi Omar Ar Razy, menyoroti bahwa pendekatan yang diambil dalam penulisan sejarah ini masih didominasi oleh kepentingan ideologi negara. Ia menilai, narasi yang dibangun terlalu mengutamakan legitimasi kekuasaan, bukan kedekatan dengan masyarakat.
“Narasinya masih sangat Indonesia-sentris, sangat elite, tidak dekat dengan masyarakat. Ideologi yang diutamakan. Sejarah masih digunakan untuk membangun legitimasi,” kata Refi.
Nada kritik serupa juga datang dari sejarawan asal Papua, Albert Rumbekwan, yang menyayangkan minimnya ruang untuk sejarah Papua dalam proyek ini.
Albert mengungkapkan bahwa dirinya diminta menulis tentang sejarah Papua pasca-Reformasi. Namun, ia memastikan akan tetap mengangkat isu-isu krusial seperti pelanggaran HAM dan aspirasi kemerdekaan Papua.
“Saya akan mengangkat isu-isu sensitif yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dan keinginan orang Papua untuk merdeka,” tegas Albert.
Sementara itu, Ketua Tim Penyusun Buku Sejarah, Susanto Zuhdi, menyatakan bahwa revisi ini justru untuk menghadirkan perspektif sejarah yang lebih akurat dan kontekstual.
Beberapa perubahan terminologi telah dilakukan, di antaranya:
- Istilah “Zaman Hindu-Buddha” atau “Zaman Islam” diganti menjadi “Indonesia dalam Jaringan Global” atau “Indonesia dalam Jaringan Timur Tengah”.
- Istilah “prasejarah” yang sebelumnya merujuk pada masa sebelum ditemukan aksara, kini diganti menjadi “awal sejarah”.
- Narasi lama yang menyebut Indonesia dijajah selama 350 tahun juga direvisi, karena faktanya banyak kerajaan Nusantara yang masih merdeka hingga awal abad ke-20.
Susanto menekankan bahwa proyek ini melibatkan 120 sejarawan, termasuk mahasiswa pascasarjana dari dalam dan luar negeri, dan para akademisi dari berbagai daerah dari Universitas Syiah Kuala di Aceh hingga Universitas Cenderawasih di Papua.
Ia membantah keras anggapan bahwa penulisan ini merupakan proyek pesanan politik.
“Enggak ada arahan itu. Adanya arahan ‘Reinventing Indonesian Identity’,” tegas Susanto. Menurutnya, penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk mencari dan membentuk ulang identitas bangsa Indonesia.
Meski begitu, kritik terhadap potensi hilangnya narasi perempuan, konflik sosial, dan sejarah lokal yang sensitif masih mengemuka.
Banyak pihak mendesak agar proses penulisan dilakukan dengan lebih inklusif, transparan, dan menghormati kompleksitas sejarah bangsa, bukan sekadar menyederhanakan demi kepentingan tertentu.
Proyek ini dijadwalkan rampung dalam beberapa tahun ke depan, dengan harapan bisa menjadi rujukan resmi sejarah Indonesia yang lebih komprehensif dan representatif.
Namun hingga saat ini, polemik di kalangan akademisi dan masyarakat belum juga mereda.