PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, menyampaikan pernyataan mencengangkan terkait rencana pembentukan 80.000 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang menjadi salah satu program prioritas nasional.

Budi Arie menyebut, proyek besar ini dijalankan tanpa dasar pengalaman maupun acuan yang jelas, bahkan menyamakannya dengan penanganan pandemi COVID-19: “separuh insting, separuh teknokrasi.”

“Kalau mau ngomong teorinya, ada nggak teorinya? Saya juga nggak tahu,” ujar Budi dalam pernyataan publiknya yang beredar luas, Rabu (3/7/2025). “Enggak ada benchmark-nya, jadi ini antara insting dan teknokrasi jadi satu.”
Pernyataan ini menuai pertanyaan serius terkait arah dan kesiapan program yang akan menyasar puluhan ribu desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Di tengah semangat menciptakan sejarah baru, tidak adanya *roadmap* atau peta jalan yang jelas menimbulkan kekhawatiran soal efektivitas hingga potensi pemborosan anggaran.
“Program ini belum pernah dilakukan oleh negara mana pun di dunia. Jadi kita memang sedang mencetak dan melukis sejarah baru untuk Indonesia,” lanjut Budi.
Antara Ambisi dan Minimnya Rencana Teknis
Meski menyebut bahwa pendekatannya akan melibatkan partisipasi masyarakat desa melalui metode bottom-up, Budi mengakui bahwa ide besar ini murni lahir dari pendekatan top-down, tanpa landasan akademik atau studi komparatif yang kuat.
“Kalau ditanya road map-nya apa? Enggak ada acuannya. Mau belajar di mana bukunya? Kan enggak ada,” kata Budi, menegaskan absennya panduan dalam pelaksanaan program ini.
Dalam konteks kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan, pernyataan Menkop tersebut menimbulkan pertanyaan krusial: Bagaimana sebuah proyek besar berskala nasional bisa dijalankan tanpa peta jalan, indikator keberhasilan, serta riset kebijakan yang memadai?
Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai, langkah ini berisiko tinggi karena menyangkut alokasi sumber daya yang besar dan menyasar struktur sosial desa yang kompleks.
Apalagi, pembentukan koperasi di Indonesia selama ini kerap menghadapi tantangan dalam hal pengelolaan, transparansi, dan keberlanjutan.
Risiko Jika Asas Kehati-hatian Diabaikan
Pendekatan berbasis “insting” seperti yang diakui Budi Arie tentu menjadi ironi, di tengah tuntutan perencanaan pembangunan yang akuntabel, partisipatif, dan berbasis data.
Kritik muncul dari kalangan akademisi dan aktivis koperasi yang mempertanyakan, bagaimana pengawasan dan evaluasi dilakukan bila sejak awal tidak ada acuan kinerja yang jelas?
Di sisi lain, partisipasi warga desa memang penting. Namun tanpa kerangka teknis yang solid, risiko kegagalan hingga tumpang tindih dengan program lain sangat mungkin terjadi.
Catatan Redaksi
Transparansi, perencanaan matang, dan akuntabilitas harusnya menjadi fondasi dari setiap program negara. Ketika kebijakan sebesar Kopdes Merah Putih dijalankan dengan dalih “insting”, publik layak untuk bertanya: benarkah ini membangun sejarah atau sekadar eksperimen tanpa arah?