BANJARBARU, PUBLIKAINDONESIA – Keluarga korban pembunuhan berencana atas nama Almarhumah Juwita menyatakan keberatan keras terhadap pemindahan terpidana Jumran dari wilayah hukum Banjarbaru ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Balikpapan. Pemindahan ini dinilai tidak transparan dan berpotensi melanggar prosedur hukum.

Tim kuasa hukum dan keluarga korban menyampaikan bahwa pemindahan tersebut dilakukan secara diam-diam oleh Oditurat Militer tanpa adanya pemberitahuan resmi. Padahal selama proses hukum sebelumnya—mulai dari penyidikan, pelimpahan, hingga putusan pengadilan militer—semua berjalan secara terbuka.

“Kami baru mengetahui pemindahan pada 30 Juni 2025 melalui foto dari pihak ketiga yang menunjukkan terpidana Jumran dikawal aparat militer di bandara,” ungkap kuasa hukum keluarga korban dalam keterangan pers, Senin (30/6).
Saat dikonfirmasi, Kepala Oditurat Militer disebut menyampaikan bahwa pemindahan atas permintaan Danlanal Balikpapan. Namun, pihak Lanal Balikpapan justru membantah mengetahui hal tersebut dan menyebut bahwa itu merupakan kewenangan penuh Oditurat Militer.
Diduga Ada Penyimpangan Prosedur
Pemindahan Jumran ke luar wilayah locus dan tempus delicti perkara dinilai tidak sesuai dengan prinsip keadilan geografis. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, pemindahan narapidana harus didasarkan pada alasan yang sah dan dikoordinasikan melalui instansi pemasyarakatan sipil, bukan sepenuhnya oleh otoritas militer.
“Keputusan pemindahan seharusnya berada di bawah kewenangan Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham, bukan Kaotmil atau Danlanal,” tegas tim advokasi keluarga.
Keluarga korban juga mengkhawatirkan potensi pemberian perlakuan khusus terhadap terpidana. Pemindahan ke wilayah lain dinilai menghambat pengawasan publik dan akses keluarga terhadap proses pelaksanaan pidana.
Lima Tuntutan Resmi
Keluarga korban melalui Tim Untuk Advokasi Keadilan (AUK) Juwita menyampaikan lima tuntutan kepada aparat penegak hukum:
1. Menolak pemindahan Jumran ke Lapas Balikpapan dan menuntut kejelasan administratif atas proses tersebut.
2. Meminta pemindahan kembali terpidana ke wilayah Banjarbaru, lokasi terjadinya tindak pidana.
3. Menuntut transparansi dalam proses pemasyarakatan, dengan pemberitahuan kepada keluarga dan kuasa hukum.
4. Meminta pertanggungjawaban Oditurat Militer atas tindakan yang memicu keresahan dan ketidakpercayaan publik.
5. Mendesak pelaksanaan upacara PTDH secara terbuka, sebagai bentuk pemulihan moral bagi keluarga korban.
Seruan kepada Lembaga Negara
Keluarga korban juga mengajukan permohonan kepada Panglima TNI, Komnas HAM, Ombudsman RI, Kemenkumham, serta Komisi III dan Komisi I DPR RI agar meninjau ulang aspek hukum dan prosedur pemindahan ini.
Mereka berharap tidak ada praktik ketertutupan dan perlakuan istimewa bagi pelaku kejahatan serius, demi menjaga integritas hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
“Keadilan sejati tidak hanya terletak pada vonis, tetapi juga dalam pelaksanaan hukuman yang adil, terbuka, dan tidak diskriminatif,” tegas keluarga.