Di tengah perjalanan sunyi dari Kota Langsa menuju Aceh Tamiang, seorang pria muda berperawakan kurus dan tinggi melangkah pelan ke arah mobil relawan. Matanya sembab, berkaca-kaca. Di tangannya, hanya ada sebungkus nasi dalam kantong plastik hitam.


“Bang… boleh menumpang? Saya mau ke Kuala Simpang,” pintanya lirih.
Tanpa banyak tanya, para relawan banjir Aceh Tamiang dari Dompet Dhuafa langsung mengangguk dan mempersilakan pria itu naik ke bak mobil. Seketika, wajahnya berubah senyum kecil merekah, seolah beban panjang di dadanya sedikit terangkat.
Namanya Muhammad Muchsin (34). Seorang ayah, seorang suami, dan pengakuannya membuat relawan terdiam seorang narapidana Lapas Kajhu Banda Aceh.
Muchsin seharusnya masih menjalani hukuman 18 bulan penjara karena kasus ganja kering. Masa bebasnya baru akan tiba Februari 2026. Namun banjir bandang mengubah segalanya.
Pada 26 November 2025, ia melihat berita di televisi lapas, Aceh Tamiang diterjang banjir bandang. Wilayah terparah disebut-sebut adalah Desa Kota Lintang Bawah tempat istrinya dan putri kecilnya tinggal bersama keluarga mertua.
Sejak hari itu, Muchsin hidup dalam kecemasan. Telepon terakhir dengan istri terjadi sebulan setengah sebelumnya. Setelah banjir, tak ada kabar. Tak ada suara. Tak ada kepastian.
“Setiap hari saya cuma bisa nangis di sel,” katanya pelan.
Solidaritas muncul dari balik jeruji. Rekan-rekan satu selnya memohon kepada Kepala Lapas agar Muchsin diberi kesempatan mencari keluarganya. Tak disangka, izin itu benar-benar datang.
Ia dibebaskan sementara, lebih cepat dari vonisnya.
“Mungkin karena saya tiap hari menangis. Kawan-kawan juga bantu bicara,” ujar Muchsin.
Rekan satu sel patungan. Terkumpul Rp18 ribu itulah seluruh bekalnya.
Sejak Jumat petang, 5 Desember 2025, Muchsin memulai perjalanan panjang dari Banda Aceh menuju Aceh Tamiang. Ia menumpang kendaraan demi kendaraan. Kadang jujur soal statusnya sebagai napi, kadang memilih diam.
“Ada yang takut, ada juga yang malah nyemangatin,” katanya.
Hari-harinya dihabiskan di jalan. Meminta sisa makanan, tidur di masjid, mencuci baju seadanya lalu memakainya kembali saat setengah kering. Ia melewati daerah yang masih tergenang banjir, bajunya basah, tubuhnya lelah, tapi langkahnya tak berhenti.
Di sela perjalanan, Muchsin bercerita tentang istrinya. Mereka bertemu tahun 2018 di sebuah kedai kuliner di Banda Aceh. Muchsin kala itu bekerja sebagai juru masak, sementara sang istri mahasiswa perantauan.
“Dia sering makan di tempat saya sama teman-temannya. Kalau datang rame-rame, saya kasih diskon,” katanya sambil tersenyum.
Mereka menikah, lalu dikaruniai seorang putri pada 2020. Hingga badai kehidupan datang kasus narkoba menjerumuskannya ke balik jeruji pada 2023.
Kini, ia hanya ingin satu hal: memastikan anak dan istrinya selamat.
Menjelang Kuala Simpang, Muchsin menghabiskan nasi bungkus terakhirnya. Dari atas Jembatan Sungai Tamiang, ia menatap Desa Kota Lintang Bawah. Rumah-rumah hancur. Kayu gelondongan berserakan. Tenda-tenda pengungsian berdiri seadanya.
“Hanya masjid itu yang masih berdiri,” katanya, menunjuk dari kejauhan.
“Rumah saya sebelum masjid itu, bang.”
Ia turun, melangkah cepat ke arah desa yang porak-poranda menuju jawaban dari semua ketakutannya.
“Doakan saya bisa bertemu anak dan istri,” ucapnya sebelum pergi.
Aceh 10 desember 2025
