PUBLIKAINDONESIA, JAKARTA – Duo post-punk/new wave asal Purbalingga, Sukatani, diduga mengalami intimidasi dari aparat kepolisian hingga terpaksa menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari seluruh platform musik digital.

Mereka juga disebut mendapat tekanan untuk menyampaikan permohonan maaf terbuka kepada Kapolri dan institusi Polri melalui akun Instagram mereka, @sukatani.band, pada Kamis, 20 Februari 2025.
Menurut sumber yang mengetahui kejadian tersebut, personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lutfi (Alectroguy) dan Novi Citra Indriyati (Twister Angel), awalnya dihampiri oleh anggota polisi dari Polda Jawa Tengah di Banyuwangi. Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan pulang dari Bali menuju Purbalingga.
“Memang sudah diawasi dari tahun lalu,” ujar sumber tersebut, Kamis (20/2/2025).
Al dan Citra kemudian dibawa ke salah satu kantor kepolisian di Banyuwangi, di mana mereka diduga mendapat tekanan hingga akhirnya membuat video permintaan maaf.
Dalam video yang diunggah di akun Instagram @sukatani.band, Al menjelaskan bahwa lagu Bayar Bayar Bayar mereka buat untuk mengkritik oknum polisi yang melanggar peraturan.
“Saya Muhammad Syifa Al Lutfi sekali lagi mohon maaf. Saya Novi Citra Indriyati sekali lagi mohon maaf,” ujar mereka dalam video tersebut.
Lagu Bayar Bayar Bayar, yang dirilis dalam album Gelap Gempita pada 2023, mengkritik dugaan praktik pungutan liar di kepolisian. Beberapa liriknya berbunyi:
“Mau bikin SIM, bayar polisi. Mau jadi polisi, bayar polisi.”
Gelombang Solidaritas untuk Sukatani
Dugaan intimidasi terhadap Sukatani memicu reaksi luas di kalangan musisi dan aktivis. Vokalis band Seringai, Arian, serta musisi hip-hop Tuan Tigabelas, turut menyuarakan solidaritas dengan menyerukan tagar #KamiBersamaSukatani.
Hingga Jumat (21/2/2025) pukul 17.58 WIB, tagar ini telah digunakan lebih dari 203 ribu kali di media sosial X.
Di Instagram, sejumlah musisi juga memberikan dukungan langsung di kolom komentar akun @sukatani.band. Salah satunya, musisi Endah Widiastuti, menulis:
“Semangat!!! Lagu kalian suara hati rakyat!”
Meskipun belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan intimidasi, informasi yang diterima menyebutkan bahwa Al dan Citra telah kembali dalam kondisi aman ke Purbalingga pada Jumat (21/2/2025) sore.
Kecaman dari Aktivis HAM dan YLBHI
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai bahwa dugaan tekanan terhadap Sukatani mencerminkan sikap antikritik dan menjadi ancaman bagi demokrasi serta kebebasan berekspresi.
“Ini persis seperti zaman Orde Baru yang takut pada tulisan Pramoedya Ananta Toer. Ini sangat berbahaya terhadap demokrasi, kebebasan berekspresi, dan berkesenian,” tegas Isnur.
Ia juga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas anggotanya yang terlibat dalam dugaan intimidasi tersebut.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Ia menekankan bahwa kebebasan berkesenian merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui secara universal dan mendesak Kapolri untuk melakukan koreksi terhadap kasus ini.
“Koreksi itu akan diukur dari terungkapnya siapa pejabat polisi yang menekan, dan dari kembali tidaknya lagu itu disiarkan di Spotify dan platform digital lainnya,” ujar Usman.
Sebagai bentuk simbolis, Usman bahkan mengusulkan agar Kapolri mengundang Sukatani ke Mabes Polri untuk membawakan lagu tersebut secara langsung di hadapan jajaran kepolisian.
Sementara itu, data Koalisi Seni menunjukkan bahwa sejak 2010 hingga 2024, pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian di Indonesia terus meningkat.
Pada 2024 saja, tercatat setidaknya 60 kasus, termasuk pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto dan pementasan teater Wawancara dengan Mulyono di ISBI Bandung.
Kasus Sukatani kini menjadi simbol baru dari tantangan terhadap kebebasan berkesenian di Indonesia.