PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memilih irit bicara usai menjalani pemeriksaan panjang di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (16/12/2025). Yaqut diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota haji tahun 2023–2024.


Pantauan di lokasi, Yaqut tiba di kantor KPK sekitar pukul 11.41 WIB dan baru keluar hampir 8,5 jam kemudian, tepatnya pukul 20.13 WIB. Saat dicecar berbagai pertanyaan wartawan, Yaqut enggan memberikan keterangan detail terkait materi pemeriksaan.
“Tolong ditanyakan langsung ke penyidik ya, tanyakan ke penyidik. Nanti tolong ditanyakan,” ujar Yaqut singkat sembari berjalan meninggalkan gedung KPK, Selasa malam.
Sikap tertutup itu kembali ditunjukkan Yaqut ketika ditanya mengenai dugaan temuan KPK di Arab Saudi yang berkaitan dengan pengaturan kuota haji 2024. Ia kembali meminta awak media menggali informasi langsung dari penyidik.
“Kawan-kawan yang saya hormati, tolong ditanyakan ke penyidik. Saya mohon izin lewat ya,” ucapnya.
Meski demikian, Yaqut menegaskan bahwa statusnya dalam perkara tersebut masih sebagai saksi.
“Diperiksa sebagai saksi,” katanya singkat.
Usai pemeriksaan, Yaqut langsung bergegas meninggalkan Gedung Merah Putih KPK bersama pengacara dan juru bicaranya menggunakan mobil Toyota Fortuner hitam.
Diketahui, KPK saat ini tengah mengusut dugaan korupsi dalam penentuan kuota haji di Kementerian Agama pada masa kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas. Fokus penyidikan mengarah pada pembagian 20.000 kuota tambahan haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa pembagian kuota tambahan tersebut diduga menyalahi aturan. Berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sementara kuota haji reguler sebesar 92 persen.
“Seharusnya dari 20.000 kuota tambahan itu, 18.400 untuk haji reguler dan 1.600 untuk haji khusus,” jelas Asep.
Namun, dalam praktiknya, pembagian kuota tersebut diduga tidak sesuai ketentuan.
“Yang terjadi malah dibagi dua, 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk kuota khusus. Ini jelas menyalahi aturan karena berubah dari 92 persen dan 8 persen menjadi 50 persen dan 50 persen,” tegas Asep.
KPK menilai pembagian yang tidak sesuai regulasi tersebut sebagai perbuatan melawan hukum dan terus mendalami pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab dalam kasus ini.
