PUBLIKAINDONESIA.COM, BANJARBARU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menegaskan bahwa banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan bukan bencana alam, melainkan kejahatan ekologis yang lahir dari gagalnya kebijakan tata kelola lingkungan oleh negara, kegagapan mitigasi bencana, kerakusan korporasi, dan pembiaran sistematis terhadap kerusakan lingkungan.


Krisis iklim global memang nyata, namun di Kalimantan Selatan dampaknya dilipatgandakan oleh kehancuran ekosistem akibat industri ekstraktif yang terus diberi karpet merah oleh negara. Curah hujan tinggi hanya menjadi pemicu, sementara akar masalahnya adalah rusaknya daya dukung dan daya tampung lingkungan akibat deforestasi, tambang, perkebunan monokultur skala besar, dan PBPH.
Negara Memperparah Krisis dengan Kebijakan Eksploitatif
WALHI menilai pemerintahan Prabowo–Gibran tidak menunjukkan komitmen nyata dalam penyelamatan lingkungan hidup. Sebaliknya, berbagai kebijakan atas nama pembangunan, pangan, energi, dan pertahanan justru mempercepat perampasan ruang hidup rakyat dan memperdalam krisis ekologis.
Di tingkat global, pertemuan iklim seperti Conference of the Parties (COP), termasuk COP 30 di Brasil, gagal total menjawab krisis iklim. Kesepakatan yang dihasilkan tidak menyentuh sumber emisi dan perusakan, melainkan hanya memoles wajah kapitalisme hijau melalui berbagai skema solusi palsu.
REDD+ dan Perdagangan Karbon adalah Solusi Palsu yang Menipu Publik
Di Kalimantan Selatan, program REDD+ dan skema perdagangan karbon justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Program ini tidak menghentikan deforestasi dan perusakan, melainkan mengubah hutan menjadi komoditas baru bagi pasar karbon global.
REDD+ memberi ruang bagi negara maju dan korporasi perusak lingkungan untuk terus mencemari dan merusak wilayah lain, sambil mengklaim pengurangan emisi dari hutan yang pada kenyataannya sudah lama dijaga oleh masyarakat adat dan lokal. Tanpa REDD+ sekalipun, hutan-hutan rakyat telah berfungsi sebagai penyerap karbon alami.
WALHI menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa ditebus dengan sertifikat karbon. Seharusnya, pelaku perusakan melakukan pemulihan di lokasi kerusakan, bukan memindahkan tanggung jawab ke wilayah lain dan mengorbankan ruang hidup masyarakat.
Kalimantan Selatan dalam Kondisi Darurat Ekologis
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) WALHI Kalimantan Selatan 2025, kondisi lingkungan di Kalsel telah melewati batas aman. Dari total luas wilayah sekitar 3,7 juta hektar, sebanyak 51,57 persen atau sekitar 1,9 juta hektar telah dikuasai dan dibebani izin industri ekstraktif.
Luasan ini setara hampir 29 kali luas DKI Jakarta, mencerminkan skala perampasan ruang hidup yang masif dan brutal. Sementara itu, sisa tutupan hutan primer di Kalimantan Selatan hanya sekitar 49.958 hektar, angka yang sangat timpang dibandingkan luas konsesi tambang, sawit, dan kehutanan.
Kondisi inilah yang menjadi akar berulangnya banjir, longsor, krisis air bersih, dan hilangnya sumber penghidupan rakyat. Banjir hari ini adalah akibat langsung dari kebijakan yang membiarkan alam dihancurkan.
Pemerintah Hanya Sibuk Mengelola Dampak, Bukan Menghentikan Penyebab
Setiap tahun pemerintah hanya sibuk pada penanggulangan bencana, distribusi bantuan, dan normalisasi sungai, tanpa pernah berani menyentuh penyebab utama bencana itu sendiri. Evaluasi dan pencabutan izin industri ekstraktif terus ditunda, seolah negara menunggu jatuhnya korban jiwa lebih banyak baru bertindak.
Bahkan dalam banyak peristiwa bencana ekologis, pemerintah enggan menetapkan status bencana yang layak, sehingga masyarakat kehilangan hak atas pemulihan, perlindungan, dan keadilan pascabencana.
Lambatnya Tindakan Tegas Aparat dalam Sektor Ekstraktif
WALHI Kalimantan Selatan menilai buruknya dampak lambatnya tindakan aparat dalam sektor ekstraktif ilegal yang mengakibatkan masifnya eksploitasi dan kerusakan. Aparat penegak hukum (APH) mestinya menindak tegas, cepat, dan tepat alih-alih lamban dan terkesan nirinisiatif dalam penindakan.
Tuntutan WALHI Kalimantan Selatan
WALHI Kalimantan Selatan menuntut:
1.Hentikan seluruh perluasan dan operasi industri ekstraktif yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan.
2.Evaluasi dan cabut izin-izin bermasalah tanpa menunggu bencana dan korban jiwa.
3.Hentikan program solusi palsu krisis iklim, termasuk REDD+ dan perdagangan karbon yang mengorbankan masyarakat dan menutupi kejahatan ekologis.
4.Pulihkan lingkungan berbasis keadilan ekologis dan pengakuan wilayah kelola rakyat.
5.Penegakan hukum yang tegas pada perusak lingkungan.
Banjir di Kalimantan Selatan adalah peringatan keras bahwa krisis ekologis telah menjadi kenyataan pahit. Selama negara terus berpihak pada korporasi dan menjadikan solusi palsu sebagai tameng, bencana akan terus diproduksi dan rakyat akan terus menjadi korban.
