PUBLIKAINDONESIA, JAKARTA-– Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap jaringan penipuan trading saham dan kripto yang menyebabkan kerugian Rp 105 miliar. Dalam kasus ini, polisi menemukan 67 rekening bank yang digunakan untuk mencuci uang hasil kejahatan tersebut.

Rekening-rekening tersebut tersebar di berbagai bank nasional, dengan rincian 42 rekening di BCA, 9 di Bank Mandiri, 5 di Bank BRI, 4 di Bank Sinarmas, 2 di Bank BNI, 2 di Bank UOB, serta masing-masing 1 rekening di Bank CIMB Niaga, OCBC, dan Permata. Selain itu, pelaku juga memanfaatkan platform exchanger kripto untuk menyamarkan dana sebelum dikirim ke luar negeri.

Kasus ini terungkap setelah korban menerima pesan dari JYPRX Global pada Januari 2025 yang menginformasikan bahwa akun mereka ditangguhkan sementara. Mereka diminta membayar pajak tambahan agar bisa menarik dana, tetapi tetap tidak bisa mencairkan uang mereka.
“Kami telah menyita dan memblokir uang sebesar Rp 1,53 miliar dari rekening-rekening yang digunakan pelaku,” ujar Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Rabu (19/3).
Polisi menduga kasus ini melibatkan jaringan internasional, dengan sebagian dana ditransfer ke luar negeri melalui sistem perbankan dan aset kripto. Penyidikan terus dilakukan untuk melacak aliran dana lebih lanjut dan mengidentifikasi pihak-pihak lain yang terlibat.
Dalam pengungkapan kasus ini, polisi berhasil menangkap tiga tersangka yang merupakan warga negara Indonesia. Mereka diduga berperan dalam membantu pencucian uang dan merekrut korban melalui platform ilegal.
Tersangka pertama, AN, ditangkap di Tangerang pada 20 Februari 2025. Ia berperan dalam pembuatan perusahaan dan rekening nominee yang digunakan untuk mencuci uang hasil penipuan. Ia beroperasi atas perintah AW dan SR, yang saat ini berstatus buron (DPO).
Tersangka kedua, MSD, ditangkap di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, pada 1 Maret 2025. Ia bertugas mencari orang untuk membuka akun exchanger kripto dan rekening bank di Medan, dengan bayaran antara Rp 200.000 hingga Rp 250.000. Selain itu, MSD juga mengirimkan perangkat perbankan dan exchanger kripto ke Malaysia untuk seseorang bernama LWC.
Tersangka ketiga, WZ, ditangkap di Medan pada 9 Maret 2025. Ia merupakan koordinator pembuatan rekening nominee kripto dan perusahaan yang digunakan untuk menampung dana korban. WZ diduga telah mengirim lebih dari 500 unit handphone dan 1.000 akun perbankan serta exchanger kripto ke Malaysia sebagai bagian dari skema pencucian uang.
Selain menangkap tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk 2 unit mobil, 1 unit motor, 3 unit sepeda, 1 unit TV, 1 buah jam tangan, 11 unit handphone, 4 kartu ATM, dan 10 dokumen perusahaan.
Para tersangka dijerat dengan sejumlah pasal, di antaranya Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) UU ITE, Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, serta Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ancaman hukuman bagi mereka mencapai 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar.
Polri juga telah berkoordinasi dengan Interpol untuk menerbitkan Red Notice bagi pelaku warga negara asing yang diduga terlibat dalam jaringan ini. Selain itu, dua tersangka lainnya, AW dan SR, telah ditetapkan sebagai buronan (DPO) dan sedang dalam pengejaran.
“Kami masih mengembangkan kasus ini dan terus berkoordinasi dengan Interpol agar pelaku yang berada di luar negeri bisa segera ditangkap,” kata Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji.
Polri mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati dalam berinvestasi dan tidak mudah tergiur dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat. Masyarakat diminta untuk melakukan verifikasi terhadap profil perusahaan dan aplikasi investasi sebelum menyetorkan dana mereka.(FA)