PUBLIKAINDONESIA.COM, BURKINA FASO – Di tengah gejolak global dan meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi, Burkina Faso muncul sebagai salah satu negara yang memilih jalan berbeda. Di bawah kepemimpinan Presiden Ibrahim Traoré yang usianya bahkan lebih muda dari Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka negara di Afrika Barat ini tengah menjalani transformasi radikal.

Traoré, seorang mantan tentara dan aktivis, dipilih rakyat bukan karena janji kosong, melainkan karena keberaniannya melawan dominasi asing dan sistem ekonomi yang timpang. Ia dikenal lantang menolak eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan luar negeri dan menjadikan nasionalisasi serta pelayanan publik gratis sebagai inti kampanyenya.
Begitu menjabat, Traoré bergerak cepat. Ia mencabut izin operasi perusahaan asing yang selama ini menguasai tambang emas dan uranium, lalu menasionalisasi sektor-sektor strategis. Tak hanya itu, pemerintahannya juga memperkuat militer untuk menjaga stabilitas dan mengamankan kekayaan nasional.
Di bidang sosial, kebijakan Traoré tak kalah revolusioner. Pemerintah menyediakan listrik gratis bagi desa-desa miskin, akses pendidikan dan layanan kesehatan tanpa biaya, serta subsidi pangan yang merata. Bahkan, tanah diberikan secara gratis kepada petani sebagai bagian dari program kedaulatan pangan.
Langkah-langkah berani ini membuat Burkina Faso semakin nasionalis dan mandiri. Meski mendapat tekanan dari negara-negara besar dan lembaga keuangan internasional, Traoré tetap teguh pada jalurnya: menciptakan negara yang berdaulat penuh dan rakyat yang sejahtera tanpa ketergantungan asing.
Tak sedikit yang menyebut Traoré sebagai “pemimpin langka” seorang kepala negara yang tegas, pro-rakyat, dan menolak tunduk pada kekuatan kapitalis global. Bagi rakyat Burkina Faso, kepemimpinannya adalah wajah baru dari harapan, martabat, dan keberanian untuk menentukan nasib sendiri.