PUBLIKAINDONESIA.COM, BANJARBARU – Fenomena banjir pesisir atau rob yang belakangan makin sering “menyapa” warga pesisir Kalimantan Selatan kini tak lagi bisa dianggap sebagai siklus pasang surut laut biasa.


Air laut yang naik semakin terasa dampaknya dan mulai mengganggu aktivitas harian masyarakat, dari akses jalan hingga kawasan permukiman.
Direktur WALHI Kalimantan Selatan, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, menegaskan bahwa banjir rob yang kian parah merupakan akumulasi dari kerusakan ekosistem pesisir yang masif dan berlangsung lama.
Menurut Rafiq, salah satu penyebab utama adalah hilangnya benteng alami pesisir, terutama kawasan hutan mangrove. Padahal, secara historis wilayah pesisir Kalsel merupakan habitat berbagai fauna endemik, salah satunya bekantan (Nasalis larvatus) yang hidup di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai Kalimantan. Kini, satwa ikonik tersebut berstatus Terancam Punah (Endangered) menurut IUCN Red List.
“Dulu kawasan pesisir kita adalah kawasan hutan mangrove yang lebat. Sekarang berubah jadi pelabuhan batu bara, dermaga khusus, dan kawasan industri,” ungkap Raden.
Ia menegaskan, rusaknya mangrove membuat pesisir kehilangan fungsi alaminya sebagai penahan gelombang laut.
“Bagaimana rob tidak semakin parah? Kawasan hutan mangrove yang seharusnya jadi benteng penyelamat manusia sudah habis dikavling untuk izin pertambangan dan pelabuhan. Saat air laut pasang, tidak ada lagi penghalang alami, sehingga air langsung menghantam pemukiman warga,” tegasnya.
Raden juga mengkritik langkah pemerintah yang dinilainya masih sebatas program simbolik tanpa tindakan tegas di lapangan.
“Pemerintah harus berhenti memberikan ‘program palsu’. Harus berani mencabut izin perusahaan yang jelas-jelas merusak lingkungan,” katanya.
Bahkan, Raden mendorong pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan agar kasus kerusakan alam mendapat perhatian serius.
“Kita butuh hakim yang fokus dan paham bahwa kerusakan lingkungan, seperti hilangnya kawasan hutan mangrove di pesisir Kalsel, adalah kejahatan serius,” ujarnya.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor turut mengingatkan masyarakat pesisir Kalsel untuk waspada banjir rob sepanjang Desember 2025.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, Ota Welly Jenny Thalo, menjelaskan bahwa potensi rob dipicu oleh pasang maksimum air laut yang bertepatan dengan fase bulan purnama dan perigee, ditambah kondisi gelombang laut yang cukup tinggi.
“Pasang maksimum di Muara Sungai Barito diperkirakan terjadi pada 6–14 Desember dan 19–27 Desember 2025, dengan ketinggian mencapai 2,5 hingga 3,0 meter, terutama malam hingga dini hari,” ujar Ota, Selasa (2/12/2025).
Untuk wilayah pesisir Kotabaru, pasang maksimum diperkirakan terjadi pada 3–10 Desember dan 18–26 Desember 2025, dengan ketinggian serupa, yakni 2,5–3,0 meter, terutama pada sore hingga malam hari.
BMKG juga mencatat gelombang laut di perairan Kalsel secara klimatologis berkisar antara 0,4 hingga 2,6 meter, dengan arah dominan dari barat daya hingga barat laut.
“Kondisi ini bisa memperkuat potensi banjir rob, terutama saat puncak pasang,” jelas Ota.
Dengan kombinasi kerusakan ekosistem pesisir dan faktor alam, banjir rob di Kalimantan Selatan diprediksi akan semakin sering dan berdampak luas jika tidak ada langkah serius untuk memulihkan lingkungan.
