Penulis : Direktur Walhi Kalimantan Selatan (Kalsel) Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono

Kasus yang terjadi di Desa Banjarsari, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, bukan lagi sekadar isu lokal, melainkan tragedi lingkungan dan kemanusiaan yang berulang dan harus segera dihentikan. Peristiwa ini menjadi potret nyata dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi pengawasan, penegakan hukum, dan pengendalian sektor pertambangan di Kalimantan Selatan.

Aktivitas pertambangan batubara di wilayah ini telah menimbulkan kerusakan ekosistem yang sangat parah mulai dari pencemaran air, hilangnya sumber air bersih, rusaknya lahan pertanian warga, hingga meningkatnya risiko banjir dan longsor. Warga di sekitar lokasi tambang hidup dalam ancaman yang terus menerus, sementara perusahaan-perusahaan tambang terus beroperasi tanpa pengawasan ketat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan mendesak pemerintah pusat dan daerah segera melakukan audit lingkungan dan audit kepatuhan (compliance audit) terhadap seluruh perusahaan tambang di Kalimantan Selatan. Audit ini harus bersifat menyeluruh, transparan, dan melibatkan masyarakat serta lembaga independen untuk memastikan siapa saja yang melakukan pelanggaran serius ini.
Temuan Bareskrim Polri baru-baru ini yang menyebutkan adanya lebih dari 230 Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kalimantan Selatan semakin memperkuat fakta bahwa lemahnya pengawasan oleh negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan ilegal telah berlangsung secara masif dan sistematis, bahkan di wilayah yang seharusnya berada dalam kendali aparat dan pemerintah.
Tragedi Banjarsari bukan kejadian tunggal. Ini adalah bagian dari rantai panjang kerusakan akibat lemahnya kontrol negara terhadap aktivitas pertambangan. Ketika 230 lebih tambang ilegal bisa beroperasi di satu provinsi tanpa tindakan tegas, itu bukan sekadar kelalaian, tapi bentuk pembiaran struktural. Negara telah gagal melindungi warganya.
WALHI Kalsel menilai bahwa pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan aparat penegak hukum harus segera melakukan penindakan atas situasi ini. Pengawasan yang longgar, praktik tumpang tindih izin, hingga lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi tambang masih ditempatkan di atas keselamatan rakyat dan kelestarian alam.
Lebih lanjut, WALHI Kalsel menuntut agar pemerintah segera mengumumkan secara terbuka hasil audit, data izin, dan temuan pelanggaran tambang di Tanah Bumbu dan wilayah lain di Kalimantan Selatan. Publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi, dan langkah apa yang akan diambil negara untuk memastikan pemulihan ekologis serta keadilan bagi warga terdampak.
Keselamatan dan hak hidup warga, serta kelestarian lingkungan, harus ditempatkan di atas kepentingan ekonomi pertambangan. Negara tidak boleh lagi menjadi penonton di tengah penderitaan rakyatnya sendiri.
WALHI Kalimantan Selatan mengingatkan bahwa provinsi ini telah berada dalam status darurat ekologis. Becana yang sering terjadi bahkan rutin terjadi setiap tahun merupakan gambaran jelas bahwa terjadi kerusakan lingkungan yang sangat luarbiasa. Hilangnya ruang hidup rakyat juga adalah akibat langsung dari model pembangunan ekstraktif yang destruktif. Jika pemerintah tidak segera bertindak, tragedi seperti di Banjarsari akan terus berulang di banyak tempat.
Berdasarkan catatan WALHI Kalsel, wilayah Kalimantan Selatan saat ini telah dibebani izin usaha baik di sektor pertambangan, perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA dengan total luasan yang mencapai lebih dari 50% dari keseluruhan wilayah provinsi Kalimantan Selatan.
Itu pun baru dari sektor yang berizin. Belum termasuk aktivitas tanpa izin (ilegal) yang hingga kini belum dapat teridentifikasi secara pasti luasannya. Pertanyaannya, berapa banyak ruang hidup yang tersisa untuk rakyat jika sebagian besar wilayah sudah dikuasai oleh korporasi?
Saatnya pemerintah berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup, bukan kepada industri tambang yang rakus dan merusak. Keadilan ekologis dan keselamatan warga harus menjadi prioritas tertinggi negara.

