PUBLIKAINDONESIA.COM, BANDUNG – Polemik antara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencuat ke publik setelah pernyataan KDM yang menilai KPAI terlalu banyak mengkritik tanpa memberikan solusi nyata atas permasalahan anak-anak bermasalah.

Kontroversi ini bermula dari kritik KPAI terhadap program “Siswa ke Barak” yang digagas oleh Dedi Mulyadi.
Dalam evaluasinya, KPAI menyoroti fakta bahwa sekitar 6,7% siswa peserta program tidak mengetahui alasan mereka mengikuti kegiatan tersebut. KPAI mempertanyakan transparansi dan pendekatan program yang dianggap terlalu militeristik.
Menanggapi kritik itu, Dedi Mulyadi membela program yang menurutnya telah membawa dampak positif terhadap perilaku peserta. Ia bahkan berencana memperluas program tersebut hingga menjangkau 20.000 anak di seluruh wilayah Jawa Barat. Dalam pernyataannya, KDM menantang KPAI untuk tidak sekadar mengawasi, tetapi ikut ambil bagian dalam mencari solusi.
“KPAI mau ambil bagian berapa? Itu pertanyaannya,” ucapnya.
Namun, Ketua KPAI Ai Maryati Solihah merespons dengan menegaskan bahwa lembaganya memiliki mandat yang jelas sesuai undang-undang, yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan anak, bukan menjalankan program.
“Saya sudah sampaikan berulang kali, tugas kami melakukan pengawasan. Jadi mari kita lihat lagi aturan perundangannya, KPAI mengawasi,” ujar Ai Maryati.
Menurut Ai, KPAI tetap responsif terhadap setiap kasus, bahkan untuk satu anak pun. Namun, pelaksanaan program atau metode penanganan tetap menjadi tanggung jawab pihak eksekutif dan lembaga terkait.
Polemik ini menggarisbawahi perlunya kolaborasi lintas lembaga dalam menangani persoalan anak-anak bermasalah, namun juga menyoroti pentingnya kejelasan peran antarinstansi agar tidak terjadi tumpang tindih atau saling menyalahkan di ruang publik.
1 Komentar
tekls2