PUBLIKAINDONESIA.COM, BANJARMASIN – Tragedi banjir dan longsor di Sumatra masih menyisakan duka mendalam. Hingga kini, korban jiwa terus bertambah mencapai ratusan orang, sementara ribuan warga terpaksa mengungsi setelah rumah mereka lenyap disapu banjir dan tanah longsor. Akses evakuasi pun berlangsung dramatis karena banyak jalan terputus, menghambat penyaluran bantuan.

Di tengah duka yang belum mereda ini, muncul pertanyaan besar: Apakah Kalimantan Selatan hanya menjadi penonton? Sudahkah ada langkah pencegahan nyata agar tragedi serupa tidak menimpa Banua?
Pertanyaan ini dijawab tegas oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, bersama Manajer Advokasi dan Kampanye, M. Jefri Raharja.
“Bencana Itu Bukan Takdir Alam, Tapi Kegagalan Sistem”
Jefri Raharja akrab disapa Cecep menyebut bencana di Sumatra bukan fenomena alam semata.
“Korban jiwa bukan sekadar angka. Itu nyawa manusia. Kita harus benar-benar belajar bahwa apa yang disebut bencana bukan hanya karena hujan, tapi karena kegagalan sistem menjaga alam.”
Cecep menyebut salah satu faktor utama adalah hilangnya daerah resapan air akibat pembalakan hutan. Bukti visualnya terlihat jelas di lokasi bencana.
“Gelondongan kayu besar dengan potongan rapi itu tidak jatuh dari langit. Itu murni pembalakan. Dan ketika hutan hilang, air kehilangan tempat meresap akibatnya bencana ekologis tak terbendung.”
Kalsel Dalam Zona Bahaya
Menurut Raden Rafiq, Kalimantan Selatan tidak berada dalam posisi aman.
“Kalsel sudah kehilangan lebih dari 150.000 hektare tutupan pohon alami sejak 2001 akibat ekspansi tambang dan sawit.”
Ia mengingatkan kembali bencana banjir besar 2021 yang disebut sebagai banjir paling parah dalam sejarah Banua, menelan korban jiwa dan menyebabkan kerugian masif. Situasi serupa kembali terjadi 2025 melalui longsor di Banjarsari, Angsana, Tanah Bumbu akibat aktivitas tambang ilegal.
“Kenapa pemerintah seolah menunggu bencana dulu baru bekerja? Tambang ilegal tidak muncul tiba-tiba. Ada suara mesin, ada lubang galian menganga. Masa tidak terlihat oleh aparat?” kritik Raden.
Kondisi Sosial Politik yang Mencekik
Raden juga menyoroti tumpukan persoalan publik yang tak kunjung usai: krisis harga kebutuhan pokok, pernyataan pejabat yang pro-ekspansi sawit, tekanan terhadap masyarakat adat Meratus, hingga kasus kekerasan aparat.
“Semua ini terjadi bersamaan. Lalu apa lagi setelah bencana Sumatra? Masyarakat sipil harus bersatu mendorong kebijakan lingkungan yang adil. Kita berhak atas lingkungan yang baik dan sehat.”
Raden menegaskan kondisi tata kelola lingkungan di Kalsel kian mengkhawatirkan.
“Dari total luas Kalsel, sekitar 51,57% sudah dibebani izin konsesi. Ini bom waktu jika kebijakan terus berpihak pada ekonomi elite, bukan keselamatan masyarakat.”
Seruan Walhi: Belajar Sebelum Terlambat
Walhi menegaskan, bencana tak mengenal batas peta.
“Ia bisa terjadi di hulu Meratus, di lahan gambut, di pesisir, bahkan di kota. Kalsel harus belajar sungguh-sungguh dari Sumatra.”
Walhi mendesak pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk bertindak sebelum Banua kembali menangis karena bencana yang sebenarnya dapat dicegah.
