PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Laporan terbaru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024 mengungkapkan adanya ketidaksinkronan serius antara PT PLN (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam pendanaan dan perencanaan transisi energi nasional.

Ketidakharmonisan ini dinilai dapat menjadi ancaman nyata bagi stabilitas fiskal dan kepercayaan investor.
Dalam laporannya, BPK memperingatkan bahwa disonansi kebijakan antara dua institusi strategis tersebut dapat menimbulkan beban tambahan kepada negara hingga Rp489 triliun.
Angka ini berasal dari potensi lonjakan subsidi energi dan belum adanya mitigasi terhadap beban bunga pinjaman yang membengkak, seiring pelaksanaan proyek transisi energi yang kurang terkoordinasi.
“Ketika transisi energi dijalankan tanpa koordinasi yang kuat antar lembaga strategis, maka agenda hijau yang mestinya menjadi pilar pembangunan justru berubah menjadi potensi krisis fiskal,” demikian pernyataan dari lembaga pemantau kebijakan energi, Daulat Energy.
BPK menyoroti bahwa kegagalan mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) 23% pada 2023 menunjukkan lemahnya sinergi antara Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN dan kebijakan EBT dari ESDM.
Padahal, Indonesia telah menetapkan target ambisius bauran EBT sebesar 46% pada 2045, sejalan dengan komitmen Enhanced National Determined Contribution (ENDC) dalam agenda iklim global.
“Ini bukan sekadar proyek teknokratis. Transisi energi adalah proyek bangsa. Ia memerlukan satu bahasa, satu peta jalan, dan satu komitmen fiskal,” tegas pernyataan Daulat Energy.
Lebih lanjut, laporan IHPS menilai absennya kepemimpinan kebijakan di sektor energi menjadi akar masalah utama.
Dalam situasi ini, risiko fiskal meningkat dan persepsi investor terhadap sektor energi Indonesia bisa memburuk.
Jika persepsi itu berubah menjadi anggapan “high risk, low governance”, maka ambisi menarik investasi sebesar Rp2.133 triliun dalam sepuluh tahun ke depan bisa jadi hanya wacana.
Daulat Energy menekankan bahwa keberhasilan transisi energi tidak semata bergantung pada teknologi atau proyek pembangkit baru, tetapi pada solidnya tata kelola, kepastian regulasi, dan kejelasan peran antar pemangku kepentingan.
Sebagai solusi, lembaga ini mendesak PLN dan ESDM untuk duduk satu meja menyusun ulang skenario pendanaan dan teknis yang lebih terintegrasi, realistis secara fiskal, dan berbasis data.
Peran Kementerian Keuangan dinilai perlu diperkuat dalam menilai kemampuan fiskal negara serta membuka ruang untuk skema pembiayaan campuran (blended finance) yang tidak membebani APBN secara berlebihan.
“Transisi energi adalah keniscayaan. Tapi jika dilakukan tanpa keterpaduan, ia bisa menjadi beban abadi. Governance harus lebih dahulu ditransformasikan sebelum berbicara soal transformasi energi,” pungkas pernyataan Daulat Energy.