PUBLIKAINDONESIA.COM, TEL AVIV – Di tengah sorotan global yang semakin tajam terhadap kebijakan luar negeri dan konflik berkepanjangan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengambil langkah strategis yang tak biasa: mengandalkan kekuatan influencer media sosial untuk membentuk persepsi publik internasional tentang Israel.

Dalam sebuah pertemuan dengan media pro-Israel yang dikutip dari responsiblestatecraft.org, Netanyahu menekankan pentingnya menggandeng para tokoh media sosial.

“Kita harus melawan balik. Bagaimana? Influencer kita. Mereka sangat penting. Kalian juga harus bicara dengan mereka jika punya kesempatan,” ujar Netanyahu.
Strategi ini bukan sekadar wacana. Dokumen yang didaftarkan berdasarkan Foreign Agents Registration Act (FARA) menunjukkan bahwa firma Bridge Partners, yang dikontrak oleh Kementerian Luar Negeri Israel, menagih sekitar USD 900.000 kepada Havas Media Group Jerman untuk proyek bertajuk “Kampanye Influencer” yang berjalan dari Juni hingga November.
Dari total dana itu, setelah dikurangi biaya produksi dan administrasi seperti layanan hukum, perbankan, hingga manajemen proyek, sekitar USD 552.946 dialokasikan langsung untuk pembayaran kepada 14–18 influencer, yang ditargetkan membuat 75–90 unggahan. Artinya, setiap unggahan dibayar sekitar USD 6.100 hingga USD 7.300!
Namun, siapa saja influencer yang terlibat dan konten seperti apa yang mereka unggah, masih menjadi misteri. Havas maupun Bridge Partners belum memberikan komentar resmi atau transparansi mengenai detail kampanye ini.
Bridge Partners sendiri didirikan oleh Yair Levi dan Uri Steinberg, masing-masing memegang 50% saham, dan memiliki rekam jejak sebagai firma yang mempromosikan “pertukaran budaya antara AS dan Israel.” Mereka juga merekrut Nadav Shtrauchler, mantan Mayor unit juru bicara militer Israel (IDF), untuk mendukung kampanye ini.
Yang menarik, kampanye ini diberi nama “Esther Project”. Namun belum jelas apakah kampanye ini berkaitan dengan “Project Esther” milik Heritage Foundation, yang dikenal dengan strategi melabeli kritik terhadap Israel sebagai bentuk dukungan terhadap terorisme.
Langkah ini menimbulkan banyak tanda tanya, terutama soal transparansi dana, konten yang disebarluaskan, hingga implikasi etis dari menggunakan influencer berbayar untuk mengarahkan opini publik dalam isu geopolitik yang sangat sensitif.
