2024 hingga 2025, catatan demi catatan kepolisian menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: ratusan remaja di berbagai kota ditangkap karena membawa senjata tajam. Celurit di tangan, tawa di wajah, dan amarah yang meledak seolah menjadi hiburan. Mereka menyerang, merekam, lalu membagikannya.

Di permukaan, ini tampak seperti kenakalan remaja. Tapi jika ditelaah lebih dalam, kita akan menemukan luka bukan hanya pada korban, tapi juga pada pelaku.

“Tak ada anak yang lahir membawa kekerasan,” kata seorang pendidik. “Mereka hanya tumbuh tanpa pelukan. Tanpa suara yang menuntun. Tanpa figur yang menanamkan batas dan empati.”
Banyak dari remaja ini tumbuh tanpa sosok ayah yang benar-benar hadir. Bahkan jika secara fisik ayah ada di rumah, seringkali jiwanya tak ikut pulang. Tak ada percakapan. Tak ada kehangatan. Hanya jarak yang perlahan, tapi pasti, mengikis arah dan identitas.
Psikiater anak dan profesor dari Yale Child Study Center, Dr. Kyle Pruett, pernah mengatakan bahwa anak laki-laki yang kehilangan figur ayah cenderung mengalami gangguan perilaku dan krisis identitas.
Data memperkuat pernyataan itu. UNICEF mencatat bahwa 20,9% anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. BKKBN menyebut hanya 37% balita yang pernah diasuh aktif oleh ayahnya. Sementara Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan ribuan anak bahkan tidak tinggal bersama orang tua mereka.
Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah luka yang tumbuh dalam diam.
Kekerasan yang terjadi hari ini mungkin bukan soal moralitas yang turun atau generasi yang “rusak”. Tapi tentang absennya figur yang seharusnya menjadi jangkar yang mengajarkan makna tanggung jawab, mengolah amarah, dan membentuk batas.
Jika kita merasa ada yang salah dengan generasi hari ini, mungkin sudah saatnya kita berhenti menunjuk. Dan mulai bertanya: di mana kita saat mereka tumbuh?
Hadi Wiranata untuk Publikaindonesia.com