PUBLIKAINDONESIA.COM, KOTABARU – Upaya penyelesaian damai melalui mekanisme restorative justice dalam kasus dugaan pemukulan antara dua warga di Pulau Laut Barat nyaris gagal setelah pernyataan Kapolsek Pulau Laut Barat, AKP Amir Hasan, dinilai menyinggung pihak pelapor.

Peristiwa bermula pada Selasa, 29 Juli 2025, ketika seorang sopir mobil berinisial AR melaporkan seorang mahasiswa berinisial LN atas dugaan pemukulan yang mengakibatkan benjolan di dahi. Kejadian itu dipicu oleh aksi saling emosi di jalan rusak, setelah LN diduga tidak terima terkena debu dari kendaraan AR. Pertikaian tersebut sempat melibatkan adu mulut dan fisik hingga dilerai warga.

Polsek Pulau Laut Barat kemudian menawarkan jalur damai melalui pendekatan restorative justice. AR sempat bersikukuh ingin kasus ini diproses hukum, namun mulai melunak setelah dimediasi, termasuk adanya tawaran agar LN menanggung biaya pengobatan.
Sayangnya, proses mediasi berjalan buntu. Ketegangan antar kedua pihak belum mereda, dan belum ada kesepakatan soal siapa yang memulai keributan. Wartawan yang berada di lokasi bahkan sempat menyarankan agar mediasi tidak dipaksakan selesai malam itu karena kondisi psikologis kedua belah pihak yang belum stabil.
Di tengah suasana yang membutuhkan ketenangan, pernyataan Kapolsek AKP Amir Hasan justru memicu kegelisahan. Ia menyatakan kepada AR:
“Kalau begini, berarti cari duit.”
Pernyataan itu membuat AR terkejut dan semakin emosional. Proses mediasi pun terpaksa dilanjutkan keesokan harinya. Setelah saran tambahan dari awak media, barulah tercapai kesepakatan: LN menandatangani surat permintaan maaf bermaterai dan memberikan bantuan biaya pengobatan kepada AR.
Kapolsek Mengaku Tak Berniat Menyinggung
Dikonfirmasi pada 2 Agustus, AKP Amir Hasan menyebut bahwa pernyataannya disampaikan secara spontan dan tidak bertujuan menyinggung korban.
“Jangan marah-marah lah sama Kapolsek,” ujarnya singkat.
Ia berdalih, pernyataan tersebut muncul karena seringnya menjumpai korban dalam kasus serupa yang diduga memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Pakar Hukum: Polisi Harus Jadi Penengah
Menanggapi insiden ini, pakar hukum Dr. Muhammad Pazri, SH, MH, menilai alasan spontanitas tidak dapat dibenarkan dalam konteks profesionalisme aparat penegak hukum.
“Dalam kasus seperti ini, polisi adalah mediator. Harus profesional dan proporsional. Kalau sampai mencederai perasaan korban, itu sudah keliru. Polisi harus jadi penengah, bukan pemantik konflik,” ujarnya pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Pazri menegaskan bahwa restorative justice sangat bergantung pada kualitas komunikasi dan kebijakan aparat kepolisian. Ia juga menyebut, insiden seperti ini kerap terjadi di daerah, terutama di wilayah dengan pengawasan masyarakat yang lemah.
“Perlu penguatan SDM di tubuh kepolisian, sekaligus kontrol publik yang berkelanjutan, tegas Fajri.”
Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi institusi kepolisian, terutama di tingkat Polsek, untuk membangun rasa aman dan kepercayaan masyarakat melalui sikap profesional dan empati.