PUBLIKAINDONESIA.COM, BANJARBARU – Proyek penggantian Jembatan Sei Ulin yang berada di Jalan Ahmad Yani Kilometer 31,5, tepatnya di depan Kolam Renang Antasari, terpaksa dihentikan sementara menyusul protes dari warga sekitar. Permasalahan muncul akibat desain awal jembatan yang dinilai mengganggu akses keluar-masuk pemukiman warga karena ketinggian oprit atau jalan penghubung yang terlalu tinggi.

Warga Keluhkan Akses dan Dampak Sosial-Ekonomi

Salah satu warga terdampak, Gatot, pemilik toko figura yang sudah puluhan tahun tinggal di kawasan tersebut, mengaku kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari sejak proyek dimulai. Ia menyampaikan bahwa akses menuju tokonya menjadi terhambat karena tinggi oprit mencapai 150 cm dari jalan lama.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi tolong perhatikan juga kami yang tinggal dan mencari nafkah di sekitar sini,” ujar Gatot kepada wartawan, Rabu (6/8/2025).
Proyek sempat dihentikan beberapa hari agar pihak Balai Penyelenggaraan Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Selatan dapat melakukan dialog terbuka dengan warga terdampak.
Hasil Pertemuan: Elevasi Jalan Diturunkan
Dalam pertemuan yang digelar Rabu siang, BPJN Kalsel bersama warga akhirnya menyepakati perubahan desain jembatan, terutama terkait ketinggian oprit. Koordinator Lapangan Proyek, Bustanul Arifin, menyatakan bahwa ketinggian jalan yang semula dirancang 150 cm akan diturunkan sekitar 30 cm sebagai kompromi atas keluhan warga.
“Penyesuaian ini untuk memudahkan akses warga keluar masuk dari rumah atau tempat usaha mereka. Proyek akan dilanjutkan setelah penyesuaian desain teknis,” jelas Bustanul.
Dua Masalah Belum Terjawab: Ekonomi dan Sosial
Meski ada kesepakatan terkait desain teknis, warga menyebut masih ada dua persoalan lain yang belum ditindaklanjuti secara konkret, yakni:
- Dampak ekonomi: Pemilik usaha kecil di sekitar proyek mengalami penurunan omset karena akses jalan yang terganggu.
- Dampak sosial: Jalan alternatif, seperti Jalan Kartika, kini menjadi jalur padat dan berisiko karena dilalui banyak kendaraan berat.
Warga berharap agar BPJN dan pemerintah daerah tidak hanya fokus pada aspek teknis konstruksi, namun juga memperhatikan keberlangsungan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Pembangunan infrastruktur seperti jembatan memang krusial untuk mendukung mobilitas dan konektivitas wilayah. Namun, partisipasi warga dan perhatian pada dampak sosial-ekonomi harus menjadi bagian integral dari perencanaan teknis. Kisah Jembatan Sei Ulin KM 31,5 Banjarbaru menjadi contoh bahwa pembangunan tanpa komunikasi dapat memunculkan konflik, tapi dialog yang terbuka mampu melahirkan solusi bersama.