PUBLIKAINDONESIA.COM, BLITAR – Fenomena yang cukup mengejutkan terjadi di Kabupaten Blitar sepanjang semester pertama tahun 2025. Sebanyak 20 guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) mengajukan permohonan cerai, meningkat drastis dari 15 pengajuan sepanjang tahun 2024. Mayoritas dari pengaju sekitar 75% adalah guru perempuan yang telah menikah lebih dari lima tahun

Menurut Deni Setiawan, Kabid Pengelolaan SD Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, pertambahan tajir tapi ruwet ini merupakan imbas dari perubahan status ekonomi. Umumnya, para guru yang kini menjadi PPPK justru memiliki penghasilan tetap, sementara suami mereka berasal dari sektor informal seperti buruh, petani, atau pekerjaan tidak tetap. Ketimpangan ekonomi ini memicu gesekan dalam rumah tangga.

Pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Arin Setyowati, menganggap lonjakan perceraian bukan karena “istri lupa diri.”
“Sebetulnya, ini soal relasi yang tidak menyesuaikan dengan ekonomi baru. Uang bukan penyebab perceraian, tapi katalis yang memperjelas ketimpangan,” ungkapnya.
Sebagai ASN PPPK, prosedur perceraian tidak bisa langsung ke pengadilan. Mereka wajib mengajukan izin ke Bupati terlebih dahulu. Jika proses ini diabaikan misal: sudah menikah lagi sebelum izin turun ASN bisa kena sanksi administratif berat, mulai dari pemotongan gaji 50% hingga pencabutan status PPPK.
Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar mencoba melakukan pendekatan preventif melalui mediasi dan pembinaan. Namun tidak semua kasus berhasil diredam. Meski begitu, sekolah ditekankan untuk tetap memberi kesempatan proses berjalan secara tertib guru tetap boleh tidak mengajar saat jam sekolah jika sedang urus izin cerai
Arin dari UM Surabaya memberi rekomendasi: perlunya konseling pranikah dan pascanikah khusus bagi ASN/PPPK, serta pelatihan keterampilan manajemen keuangan keluarga. Ia juga mengajak masyarakat untuk tak mudah menyalahkan perempuan yang memilih bercerai setelah mapan
“Fenomena ini membuka diskusi luas tentang peran ekonomi dalam stabilitas rumah tangga. Ketika perempuan punya stabilitas finansial, hal ini bisa jadi kekuatan, sekaligus ujian bagi pasangan jika peran dan komunikasi tidak diatur ulang dengan baik.” tegas Arin