PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – PT Pertamina (Persero) kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah tokoh berlatar belakang relawan politik dan lembaga survei ditunjuk mengisi posisi komisaris di anak usaha strategisnya, Pertamina Hulu Energi (PHE). Penunjukan ini menuai kritik tajam karena dinilai mencederai prinsip profesionalisme dan independensi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam perombakan terbaru jajaran komisaris PHE, nama Denny JA, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dipercaya sebagai Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen. Ia ditemani oleh Muhammad Qodari, pendiri Indo Barometer, yang juga ditunjuk sebagai komisaris.

Selain itu, sejumlah nama lain yang berasal dari latar belakang politik dan relawan seperti Stella Christie (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi), Andika Pandu Puragabaya (politisi Partai Gerindra), dan Siti Zahra Aghnia (relawan pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024) turut masuk dalam jajaran komisaris.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah desakan publik agar pengelolaan BUMN, khususnya sektor energi, dibebaskan dari intervensi politik.
“Ini bentuk nyata balas budi politik,” kata Media Wahyu Askar, Direktur Kebijakan Publik di Center of Economic and Law Studies (Celios), dalam pernyataannya.
Menurut Wahyu, penunjukan tokoh-tokoh survei ke dalam struktur strategis perusahaan negara menjadi bukti kuat bahwa sebagian data survei bersifat manipulatif dan digunakan untuk kepentingan politik elektoral. Ia menilai lembaga survei yang seharusnya bersifat ilmiah dan netral telah beralih fungsi menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Lebih lanjut, Wahyu memperingatkan bahwa masuknya figur tanpa latar belakang kompetensi di sektor energi berpotensi mendistorsi arah kebijakan perusahaan. Alih-alih fokus pada efisiensi dan penguatan sektor energi nasional, kebijakan strategis perusahaan bisa dibajak oleh agenda politik jangka pendek.
“Penempatan tokoh yang tidak relevan menurunkan efisiensi, menciptakan potensi konflik kepentingan, dan merugikan negara,” tegasnya.
Kritik juga diarahkan pada lemahnya transparansi dalam proses penunjukan, yang memperparah ketidakpercayaan publik terhadap BUMN. Dalam situasi fiskal yang menuntut efisiensi tinggi, praktik berbasis loyalitas politik justru menjadi ancaman bagi integritas kelembagaan negara.
“Publik harus bersuara. Ini bukan hanya soal jabatan, tapi soal etika dan masa depan ekonomi nasional. Reformasi sistem penunjukan komisaris BUMN sudah sangat mendesak,” tutup Wahyu.
Seiring dengan meningkatnya tuntutan tata kelola yang bersih dan profesional, kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah dalam membuktikan komitmennya terhadap reformasi BUMN dan perlindungan demokrasi dari kooptasi kekuasaan.