PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap, belanja Polri untuk penanganan demonstrasi mencapai Rp3,8 triliun sepanjang 2019 hingga 2025. Seluruh anggaran tersebut bersumber dari pajak publik.

Dari total belanja, porsi terbesar digunakan untuk alat pengamanan massa seperti helm, tameng, rompi, tongkat, hingga peralatan pelindung lainnya, dengan nilai mencapai lebih dari Rp1,5 triliun. Selain itu, Polri juga menganggarkan ratusan miliar untuk kendaraan, amunisi, serta gas masker.

Namun, di balik angka fantastis itu, catatan lapangan menunjukkan hal berbeda. Sejumlah aksi demonstrasi justru berujung pada intimidasi, kekerasan, bahkan penyiksaan oleh aparat. Padahal, undang-undang mewajibkan Polri mengutamakan perlindungan, dialog, dan proporsionalitas dalam setiap pengendalian massa.
Data lembaga bantuan hukum (LBH) di berbagai kota juga mencatat, rata – rata lebih dari 25 orang mengalami kekerasan maupun penangkapan saat mengikuti aksi unjuk rasa. Fakta ini memunculkan pertanyaan mengenai orientasi belanja besar Polri: apakah benar untuk menjaga ketertiban, atau justru memperkuat pendekatan koersif?
ICW menilai, membesarnya alokasi anggaran untuk peralatan pengamanan massa menjadi indikasi kuat bahwa cara-cara represif masih dominan. Kritik pun muncul dari berbagai kalangan yang menilai uang publik semestinya dipakai untuk memperluas ruang demokrasi, bukan membatasi kebebasan berekspresi warga negara.